"Karena jika hidup adalah cermin, maka segala kebaikan yang kita lakukan akan terbalaskan dan semua keburukan yang kita lakukan juga akan kita terima sendiri. Jika hidup adalah cermin maka ketika ada satu cahaya yang berusaha masuk melalui salah satu cermin, jika cermin itu baik (mulus tidak bergores tidak miring) maka akan memantulkan cahaya yang baik pula bagi cermin cermin disekitarnya. Jika hidup adalah cermin maka segala yang terjadi adalah sebuah refleksi, entah itu pantulan dari cermin sendiri atau cermin orang lain yang ada di sekitar kita. Jika hidup adalah cermin, maka pantulkanlah semua cahaya yang baik dan biaskanlah semua cahaya gelap, melengkapi setiap warna kehidupan seperti pelangi"
-bercermin dalam gelap dan berkaca dalam hati-
Di kereta semalam aku mendengar berbagai percakapan, baik dari yang mengutarakan masalah keluarga, masalah kehidupan sehari-hari, bahkan ada yang curhat kalau mereka ingin segera menikah dan lain lain
Di dalam hati aku hanya bergumam kecil, "Hidup ini ga selalu tentang bekerja, menikah dengan perempuan cantik, punya anak, dan seterusnya. Memang sih itu adalah sebuah fase-fase kehidupan yang lazimnya kita alami, tapi menurutku tidak selalu itu-itu saja. Seolah-olah terpatri dalam pikiran kita bahwa inilah jalan satu-satunya bagi kehidupan kita (the only path you have to choose). Melihat reaksiku yang hanya tersenyum-senyum kecil, lalu bapak yang duduk disebelahku mulai menyeletuk "yah itulah nak, suatu saat kamu juga akan mengalaminya". Aku terdiam sesaat, membenarkan niatan dan pikiranku bahwa sebenarnya aku tidak mengejek mereka, tidak pula mengolok-olok kehidupan mereka. Aku hanya heran bahwa itukah yang selama ini mereka pikirkan? hanya itukah isi kepala mereka? Entahlah siapa yang tahu?
Bambang Suhardoyo, dialah orang yang mencairkan suasanya dengan celetukan yang menggelegar tadi. Kami sempat berbicang dan mungkin agak sedikit berdebat tentang fase-fase kehidupan mulai dari lahir sampai nantinya kita kembali ke fase ketiadaan atau dipanggil. Dia yang memang sudah cukup umur (baca: Tua) mungkin agaknya menggunakan bahasa yang menurutku sedikit menggurui, mungkin karena wataknya yang sedikit keras berikut juga dia adalah seorang praktisi (maksudnya udah pernah nikah, udah pernah punya anak, udah lebih sering mengalami manis-pahitnya hiduplah). Dalam pandangannya aku hanyalah seorang teoritisi yang sok tau tentang kehidupan (walaupun sebenarnya tidak seperti itu juga sih, aku kan hanya menyampaikan berbagai macam perspektif dari pengalaman orang-orang disekitarku saja).
Kami mengawali perbincangan dengan sebuah analogi singkat "Nak, kamu percaya ga kalau suatu saat nanti kita akan kembali ke pada fase awal lagi?"-"Ya saya percaya pak, mulai dari sebuah ketiadaan di dunia ini dan kembali mendekap sebuah prinsip ketiadaan pula"-"Ya semua orang nantinya akan mati, tapi apa kamu percaya bahwa kita yang mulanya adalah anak kecil, dewasa, lalu kembali pada fase dimana kita ada di awal cerita yaitu sebagai anak kecil lagi yang sering merepotkan keluarga?"-"Ya memang hakikatnya begitu, makanya seringkali kita seorang bercermin seperti apa kehidupan kita semasa kecil ketika kita melihat orang tua yang telah sepuh (lanjut usia)"-"Ya dengan kata lain kalau kita dari awal cerita kehidupan memilki sifat yang prihatin ya nantinya ketika sudah tua akan kembali ke masa prihatin seperti waktu awal cerita"-(sekali lagi aku mengiyakan) "Ya, saya juga sering melihat hal yang seperti itu disekitar kehidupan saya"-"Seolah kamu nantinya bisa melihat seperti apakah orang tua kita sewaktu mereka masih sangat belia". Aku hanya mengangguk setuju.
Kemudian dia mulai bercerita tentang kehidupan ibunya, dimana suami nya (ayah pak Suhardoyo) telah tiada sekitar 10 tahun yang lalu, sejak saat itu Ibunya hidup sendirian karena memang semua anaknya (9 Orang semuanya telah berpindah domisili di Jakarta semua - atas usulan Pak Bambang itu sendiri dengan alasan bahwa akan lebih mudah untuk berkomunikasi dengan mereka semua jika mereka ada di satu domisili yang sama atau setidaknya berdekatan). Lalu ia mengeluhkan sedikitnya perhatian anak-anaknya terhadap Ibunya yang sudah tua dan sendiri itu, ia juga bercerita bahwa penglihatan Ibunya telah kabur dan seringkali tempramen-nya tidak terkendali (baca: sering marah-marah) bahkan sering melontarkan kata-kata yang pedas dan nylekit (baca: menyakitkan hati). Bahkan karena hal itu dia jadi seakan dijauhi anak-anaknya karena semua anak-anaknya tidak tahan dengan sentakan dan omelan sang Ibu. Diantara yang peduli ada yang tulus, salah satunya mungkin Pak Bambang ini, bayangkan dia membagi waktu untuk Ibu tercinta 16/30 (16 hari dari 30 hari ia habiskan di rumah lamanya di Kedung Bener, Kebumen). Sisanya ia habiskan bersama keluarga dan komuter Kebumen-Jakarta-Kebumen. Aku sendiri tidak tahu berapa banyak uang yang ia habiskan untuk itu, berapa banyak waktu yang telah ia berikan untuk Ibunya, dan seberapa besar rasa cintanya kepada Ibunya karena walau ia seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari Ibunya, tapi menurutnya "Ibu tetaplah Ibu, ia yang mengandung kita, melahirkan kita, dan menjaga kita", "kita tidak bisa memenuhi ketiganya layaknya seorang ibu, bahkan anak perempuan sekalipun tidak bisa memenuhi ketiganya, kita hanya bisa melakukan 1/3 nya yakni menjaganya, apalagi yang bisa anak lakukan?" Aku berguman "berdoa, bersedekah untuk Ibu, berpuasa untuk Ibu, mengumrohkan dia, membuatnya bahagia dan bla bla bla, tapi aku hanya diam karena aku tau bahwa semua itu masuk dalam satu kategori-Kita hanya bisa menjaga nya, kita tidak bisa menyusui nya apalagi melahirkannya"