Membuka-buka catatan semester lalu banyak hal yang belum sepenuhnya jelas, terutama tentang mata kuliah perempuan dan politik. Bukan aku berusaha mengingkari bahwa makul itu tidak penting tapi aku rasa cara pengajaran yang kurang tepat membuat ilmu tidak tersalur dengan baik. Pikiranku mengawang tentang sebuah "peran" yang diperdebatkan dalam feminisme terutama peran dalam sebuah rumah tangga keluarga dimana perempuan seringkali dimarginalkan, aku terdiam beberapa saat seolah terjebak dalam Istana Pikiranku sendiri (hahaha kayak Sherlock Holmes dah) aku berjalan menuju pintu dan berimaginasi seolah ada suatu jawaban dibalik pintu itu entah itu perpustakaan atau bola crystal yang serba tahu. Pikiranku terus mengawang sampai ada seorang laki-laki paruh baya yang menghampiriku dan bertanya "Mas, saya boleh duduk disini ga mas? Mau numpang makan aja"- aku hanya menjawab singkat "Oh ya silahkan pak". "Kita sudah pernah bertemu ya? Kayaknya wajah mas agak sedikit familiar"-"Ah iya? Dimana pak?"-"Di kelas perempuan dan politik ya kalau ga salah?" ia melirik kertas bahan bacaan perpol ku-"Bapak ini. . . "-"Mohammad Nasih"-"Oh ya ya ya maaf saya agak lupa hahaha, maklum jarang ketemu pak, saya ingat sih muka-nya tapi lupa namanya hahaha" (Aku tersenyum kecut sambil menahan malu). Selanjutnya kami mengobrol dan terus mengobrol, mulanya tentang kehidupan masing-masing lalu aku beranikan diri untuk bertanya tentang pendapatnya mengenai "peran seorang Istri" dalam perspektif Islam berikut dengan kaitannya dengan perjuangan feminis muslim seperti halnya yang sudah dijelaskannya di kelas beberapa waktu yang lalu.
Jawabnya singkat, namun mendalam, Seorang Istri itu menurut saya memiliki setidaknya 3 peran yaitu sebagai seorang "perempuan, wanita, dan seorang Ibu". Menurutnya jauh sebelum seorang menikah mereka hanya berperan sesuai dengan "jenis kelamin mereka" akan tetapi setelah terjadi sebuah pernikahan agaknya peranan "gender" lebih menguat. Ya perdebatan antara gender dan jenis kelamin lah yang sebenarnya menjadi sebuah perdebatan sengit di dalam jati diri perempuan dan itulah kenapa ada mata kuliah "Perempuan dan Politik". Jika dikaitkan dalam sejarah, seperti yang kita tahu bahwa jenis kelamin akan membawa kita pada perbedaan fungsi terkait dengan jenis kelamin mereka (laki-laki dan perempuan). Namun, masyarakat yang tidak begitu paham tentang hakikat peran dan kebutuhan perempuan malah mendekonstruksikan sebuah dogma bahwa perempuan memiliki peran hanya di dapur, sumur, dan kasur. Sebuah paradigma jahiliah yang diteruskan selama berabad-abad karena adanya reproduksi "Ideologis" yang direncanakan oleh kaum patriarkis dengan mengatasnamakan Islam.
Mas Nasih kemudian menjelaskan lebih ringkas dengan analogi yang lebih lengkap "Kita jangan menyebut lawan jenis kita perempuan, karena akan ada bias peran disana, kita sebut saja kaum Hawa". "Nah kaum hawa, sebelum menikah, perannya lebih dominan sebagai seorang perempuan dimana ia bertanggung jawab atas dirinya sendiri berikut dengan kebutuhannya sendiri dan menyadari akan perbedaan fungsi seksual hingga tampilan fisik, semuanya diatur di dalam Aqidah, tapi kita sekarang ga akan ngomongin soal Aqidah secara lengkap, jadi singkatnya perempuan adalah individu yang lebih bertanggung jawab pada dirinya sendiri atau perannya semi-independent karena walau se independent apapun perempuan, islam mengatur bahwa ia tetap bagian dari keluarga yang mana dosa-dosanya akan ditanggung oleh Ayah atau sodara-sodara laki-laki dan wali laki-lakinya (suaminya) suatu saat nanti". "Sama halnya dengan kaum adam yang punya peran sebagai laki-laki dimana ia juga bertanggung jawab atas dirinya dan walaupun sejak baligh dia telah lebih independent daripada perempuan karena menanggung dosanya sendiri, tetapi ia tetap tidak terlepas dari Ibunya, dimana Ibu, Ibu, dan Ibu adalah orang pertama yang harus ia taati dan muliakan, hal itu sekaligus berarti bahwa ia juga sama seperti halnya perempuan, punya peran semi-independent".
Ia menjelaskan berbagai analogi dari barat ketimur dan dari selatan ke utara, aku sendiri tidak bisa menangkap semuanya dalam garis detail jadi aku hanya menyambungkan sebuah garis merah saja, "Nah setelah keduanya menikah (kaum adam dan hawa)sesuai dengan tuntunan Islam maka seseorang dari kaum adam tersebut yang tadinya hanya berkewajiban atas dirinya sendiri sekarang mulai dikenalkan dan mengemban tanggung jawabnya sebagai seorang "suami" dan begitu pula sebaliknya seseorang dari kaum hawa". Nah masyarakat yang tidak terlalu memahami hakikat agama Islam secara penuh seringkali menyamakan analogi Aqidah dengan norma setempat, misalnya di dalam Al-Qur'an laki-laki lah yang mempunyai hak istimewa untuk melamar seorang perempuan manapun yang ia mau (Pilihlah salah satu (wanita) diantara kamu, lalu nikahilah dan gaulilah dia dengan baik-ah aku ga hafal suratnya sih jadi ya kurang lebih begitu yak hahaha) dan perempuan lah yang punya hak istimewa untuk menerima atau menolak lamaran tersebut. Nah dari situ masyarakat menganalogikan bahwa seorang "Pria" lah yang harus menyatakan cintanya terlebih dahulu kepada seorang "Wanita". Pria yang dimaksud disini adalah seorang laki-laki yang telah dewasa, di Al-Qur'an sebenarnya tidak pernah disebutkan istilah "Pria", memang istilah "perempuan dan wanita ada di Al-Qur'an" namun hal itu semata-mata hanya untuk menjelaskan sebuah transformasi peran tambahan kaum hawa dimana ia bukan hanya seorang perempuan namun juga seorang istri (wanita) yang perannya termasuk mentaati suami dan memenuhi kebutuhan suami dan keluarga"-"Jadi yang dimaksudkan wanita disini lebih mengarah pada peran Istri tapi lebih spesifik yang terdeskripsikan bahwa melayani suami adalah ibadah, bukan cuman masalah dapur, sumur, kasur tapi juga kebutuhan rohani dimana istri menjadi tempat berbagi bercerita dan bahkan pasangan untuk berpikir dan bermusyawarah di dalam keluarga. "Itu maksudnya"
"Nah masyarakat kita itu kebiasaanya kurang baik, cuman nerima hal-hal yang enak-enaknya aja, ibarat membaca Al-Qur'an hanya setengah ayat, ga sampe selesai satu ayat, lha sekarang dipikir aja kalo kita hanya baca beberapa ayat aja dalam satu surat juga pasti pengetahuannya ga lengkap apa lagi kalo cuman setengah ayat, gitu Mas Alam"
Singkatnya menurutku dogmatisasi bahwa "laki-laki" lebih superior itu sama sekali ga benar dan jikapun benar bahwa pria diberikan kelebihan dari pada perempuan itu semata-mata karena masalah perbedaan tanggung jawab, jika ditelaah lebih lanjut lagi menurut Bang Nasih sendiri "kalo laki-laki lebih hebat dari perempuan ya engga lah menurut saya orang sumbernya juga sama, kan perempuan dari tulang rusuk laki-laki ya berarti kemampuan mereka sama, hanya "perannya" saja yang berbeda". Islam ga pernah membenarkan adanya marginalisasi perempuan walaupun beberapa negara islam "memang" menggunakan dalil ayat-ayat Al-Qur'an untuk menguatkan mereka. "Allah menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam yang dekat dengan hati bukan semata-mata karena Hawa diciptakan untuk melengkapi kekosongan dan kehampaan yang dialami oleh Adam apalagi karena alasan "ketidakmampuan" Allah dalam menciptakan hawa dari tanah liat lainnya seperti halnya Adam. Itu semata-mata mengajarkan pada Adam untuk menghormati Hawa seperti halnya dia menghormati dirinya sendiri karena sebenarnya keduanya adalah "sama" dan "satu",